Tag Archives: Google Glass

Spesifikasi dan Review Google Glass Yang Dijual Telkomsel

Operator telekomunikasi Telkomsel berencana menjual Google Glass di Indonesia. Perusahaan sedang mempelajari peluang untuk memasarkan kacamata pintar buatan Google tersebut. Vice President Technology & System Telkomsel Ivan C Permana mengatakan, pihaknya masih berkomunikasi dengan Google untuk peluang kerja sama tersebut. Namun, Ivan belum bisa memastikan kapan produk itu bakal dikomersialkan di Indonesia.

Telkomsel rencananya akan mendatangkan Google Glass melalui SingTel, salah satu pemegang saham Telkomsel. Jika hal itu memungkinkan, maka Telkomsel bakal menjual Google Glass di kisaran Rp 15 juta sampai Rp 20 juta, dan dibundel dengan layanan Telkomsel. “Kita masih pelajari dan melihat animo masyarakat. Dari sana akan kelihatan berapa unit yang diperlukan,” ujarnya di sela acara Telkomsel Digi Expo 2014 di Jakarta, Selasa (22/4/2014). Ivan melanjutkan, Telkomsel juga memerhatikan soal izin dari regulator karena produk ini kerap dikaitkan dengan isu privasi.

Di acara Telkomsel Digi Expo 2014 ini, Google Glass menjadi salah satu produk yang dipamerkan Telkomsel. Google Glass masuk dalam kategori perangkat pintar yang bisa dipakai di tubuh manusia atau wearable device. Produk yang diperkenalkan dalam konferensi pengembang aplikasi Google I/O pada Juni 2012 ini sebelumnya hanya dijual kepada orang-orang terpilih. Untuk umum, Google telah menggelar penjualan Glass pada Selasa (15/4/2014). Dalam penawaran yang berlaku selama satu hari tersebut, Google membanderol Glass seharga 1.500 dollar AS (sekitar Rp 17 juta), ditambah bonus sepasang kaca lensa atau sebuah bingkai.

Pada penjualan perdana tersebut, Google Glass ludes terjual, dibeli oleh mereka yang penasaran dengan kemampuan yang dimiliki kacamata pintar ini. Meski keberadaannya telah diumumkan sejak 2012 lalu, Google Glass masih jarang ditemui di negeri asalnya, apalagi di Indonesia. Kacamata pintar tersebut memang masih berada dalam tahap “beta” alias belum diproduksi massal.

Penggunanya pun terbatas. Mei lalu, Google mengirimkan Glass Explorer Edition versi awal ke 8.000 individu terpilih yang mengikuti program Glass Xplorer. Salah satu dari mereka adalah Ivan Yudhi, seorang programmer asal Indonesia yang bekerja di perusahaan software AS, OSIsoft.

Google mengundang orang-orang yang tinggal di AS untuk berpartisipasi dalam program Glass Explorer. Ada satu syarat yang mesti dipenuhi agar bisa mendapat kiriman Glass Explorer Edition dari Google, yaitu memberi penjelasan yang meyakinkan tentang tujuan pemakaian Google Glass itu nantinya. “Saya bilang saja mau pakai Glass untuk main gitar,” ujar Ivan, yang memang hobi memainkan alat musik tersebut.

Ivan lantas membawa Google Glass ke Indonesia, tepatnya di kantor Kibar Kreasi Indonesia, bilangan Menteng, Jakarta, pada hari menjelang malam Natal, 24 Desember 2013. Dia berinisiatif memboyong perangkat itu ke Tanah Air setelah berkenalan dengan Chief Executive Kibar, Yansen Kamto, untuk keperluan pengembangan aplikasi yang sesuai di Indonesia. Sejumlah developer yang sengaja didatangkan antusias mencoba perangkat yang bagi kebanyakan orang terkesan “misterius” ini, tak terkecuali. Bingkai dengan layar

Pertama melihatnya secara langsung, Google Glass ternyata tak benar-benar memiliki “kaca” seperti yang mungkin dikesankan oleh namanya. Perangkat ini berbentuk serupa frame kacamata sederhana dengan sisi kanan yang tebal, dilengkapi sepasang dudukan untuk hidung dan sebuah layar (prisma) kecil yang terpasang di bagian tempat mata kanan berada.Frame tebal tadi merupakan touchpad sekaligus bagian utama Google Glass yang menampung semua komponen utama perangkat ini, termasuk SoC, flash memory 16 GB, serta kamera 5 megapiksel dengan lensa wide yang menghadap ke arah depan. Tak ketinggalan speaker bone transducer yang menempel ke bagian kepala persis di belakang telinga.

Google Glass akan membuat pemakainya terlihat seperti tokoh-tokoh dalam film fiksi ilmiah futuristis, dengan perangkat “visor” bertengger di kepala. Layar prisma kecil berperan sebagai medium interaksi utama dan memajang berbagai macam informasi dalam antarmuka sederhana. Tampilan layar itu ternyata cukup tajam meski berukuran kecil. Tulisan-tulisan dan gambar terlihat jelas, walaupun awalnya terasa agak aneh karena kesan yang didapatkan seperti melihat televisi mungil yang menggantung di sisi kanan bidang pandang.

Suara dari Glass terdengar sangat jelas, seolah berasal dari dalam kepala karena disalurkan langsung ke tulang di belakang telinga yang bertanggung jawab soal pendengaran. Karena hal ini pula, audio Glass hanya bisa didengar oleh pemakainya sendiri.Mungkin lantaran belum terbiasa, ketika sibuk memandangi layar Google Glass, kita jadi tak sepenuhnya awas dengan lingkungan sekitar. Kedua mata terlihat seperti melirik ke atas karena berusaha fokus dengan apa yang ditampilkan di layar. Perilaku ini terihat jelas oleh orang lain.

Soal interaksi, input diberikan lewat dua cara utama. Yang pertama adalah perintah suara dengan cue “Ok Glass”, diikuti komando yang diinginkan. Ketika pengguna mengucapkan “Ok Glass, take a picture,” misalnya, Google Glass akan menjepret foto. Begitu pula ketika pengguna ingin merekam video atau meminta panduan arah ke sebuah tempat

Lalu, ada pula cara swiping dengan menyapu touchpad di bagian kanan frame Google Glass. Satu kali tapping akan mengaktifkan display, sementara sapuan ke bawah dan ke atas masing-masing berfungsi untuk mematkan layar dan menjalankan fungsi navigasi “back”. Adapun swiping ke arah kiri dan kanan digunakan untuk menjelajah menu interface yang tersedia. Gesture untuk navigasi ini sengaja dibuat sederhana (atas-bawah-kiri-kanan) agar mudah digunakan. Di samping itu, ada pula opsi menengokkan kepala ke arah atas untuk menyalakan layar selama beberapa detik. Ini bisa digunakan untuk melihat jam di Google Glass dengan cepat.

Sebelum digunakan, Google Glass harus tersambung terlebih dahulu melalui Bluetooth ke smartphone berbasis Android atau iOS. Google menyediakan aplikasi bernama MyGlass untuk mempermudah hal ini. My Glass bisa diunduh di toko aplikasi masing-masing platform. Tersedia pula sejumlah aplikasi yang dirancang khusus untuk Google Glass di toko aplikasi Glassware, mencakup judul-judul populer seperti Facebook dan Twitter.

“First person”
Tentu, salah satu hal yang paling mengundang rasa penasaran dari Google Glass adalah kemampuannya merekam gambar dari perspektif first-person alias sudut pandang orang pertama. Dengan unit kamera yang diletakkan persis di depan mata pengguna, Google Glass mampu menghasilkan foto atau video yang tampak seolah diambil dari apa yang dilihat dan dialami sendiri oleh pemakainya.

Lensa wide-angle membantu menangkap pemandangan yang ada di depan pengguna, terutama karena preview pandangan kamera tidak ditampilkan ketika mengambil foto. Akan tetapi, proses perekaman video bisa dilihat melalui layar.

Selain perintah suara, pengambilan gambar bisa dilakukan dengan menekan sebuah tombol kecil yang terletak di sisi atas frame bagian kanan. Untuk menjepret foto, tombol ini cukup ditekan satu kali, sementara perekaman video bisa dilakukan dengan menekan dan menahannya.Seperti apa kualitas tangkapan gambar Google Glass? Kamera 5 megapiksel dari perangkat ini ternyata bisa menghasilkan foto yang lumayan bagus dalam kondisi cukup cahaya di luar ruangan.

Kualitasnya bisa disetarakan dengan kamera di smartphone masa kini. Dalam situasi dalam ruangan, hasil foto akan menurun cukup jauh, tetapi ini merupakan hal wajar yang juga dialami oleh kebanyakan kamera di gadget mobile. Foto bisa diambil dengan aspect ratio 4:3 atau 16:9, dapat pula diimbuhi dengan keterangan terkait lokasi pengambilan foto seperti nama tempat dan keadaan cuaca karena Google Glass memiliki fasilitas GPS dan terkoneksi dengan berbagai layanan Google.

Kemampuan video Google Glass yang mencapai kualitas HD (1.280 x 720) juga cukup bagus, meski rekaman suara terdengar agak kasar. Contoh-contoh foto dan video dari Google Glass bisa dilihat di bawah ini.Berdasarkan pengalamannya, Ivan mengatakan bahwa perekaman video akan menguras tenaga baterai Google Glass. Perangkat ini akan kehabisan daya dalam waktu kurang dari satu jam apabila dipakai untuk merekam video terus-menerus.

Untuk penggunaan kasual sehari-hari, Ivan mengaku Google Glass miliknya bisa bertahan selama lebih kurang 8 jam. “Untungnya, waktu pengisian baterai relatif singkat, hanya sekitar satu setengah jam,” ungkap dia. Proses charging ini sama dengan kebanyakan gadget mobile, yaitu dengan menggunakan port micro-USB.

Bukan untuk yang berkacamata
Perjumpaan dengan Google Glass berlangsung relatif singkat, tetapi itu pun sudah cukup untuk meninggalkan kesan yang mendalam. Tak salah apabila perangkat ini dikatakan revolusioner sekaligus mengundang kontroversi. Karena praktis untuk mengambil gambar, misalnya, Google Glass banyak disukai, tetapi di sisi lain juga dibenci oleh kalangan yang khawatir dengan persoalan privasi orang lain. Aspek lain yang juga menyenangkan adalah semua aktivitas dengan Glass bisa dilakukan secara handsfree, setidaknya tanpa perlu menggenggam perangkat di tangan sehingga memberi kebebasan lebih bagi pengguna.

Sayang, sejauh ini Google baru menyediakan Glass untuk pengguna dengan mata normal alias tak berkacamata. Perangkat ini memang bisa “ditumpangkan” di atas frame kacamata, tetapi posisinya tak stabil dan rawan terjatuh. Google sendiri berjanji bakal merilis versi Glass yang kompatibel dengan prescription glass alias kacamata ketika sudah diproduksi masal nanti. Raksasa mesin pencari itu beberapa waktu lalu telah melepas Google Glass Explorer Edition 2.0, tetapi perangkat tersebut sejauh ini masih merupakan produk beta yang menggunakan para “explorer” sebagai pengujinya.